Ayahku (Bukan) Pembohong

Pengarang   : Tere Liye
Penerbit        : Gramedia
Tahun             : 2011
Tempat          : Jakarta
Kolasi            : 304 halaman
Kode Buku    : 899.221 LIY a
ISBN               :9789792269055
Abstrak          : 
Aku kehabisan kata, tidak mengerti, silih berganti menatap si Nomor Sepuluh yang menggendong Zas dan Qon dengan dua tangan besarnya dan sang Kapten yang berdiri di depan ku.
"Ayah kau pastilah tidak pernah bilang." Sang Kapten seperti tahu apa yang yang kupikirkan. "Tentu saja, karena sejatinya tanpa bertemu dengan ayah kau saat aku menjadi pengantar sup itu, aku tidak pernah menjadi pemain hebat. Dan tanpa itu, keponakanku yang pemalas ini juga tidak akan pernah menadi pemain hebat, karena kau tidak punya inspirasi mendidiknya. Ayah kaulah yang datang ke klub itu, bilang aku  berhak mendapatkan kesempatan. Dia mengancam akan melaporkan klub itu ke komite olehraga karena menolakku ikut seleksi hanya gara-gara tinggi badan.
"Senang akhirnya bisa bertemu dengan keluarga kau, Dam. Satu-satunya penyesalanku adalah aku tidak pernah tahu di mana ayah kau tinggal. Dia raib begitu saja setelah lulus sekolah masternya. Aku bertahun-tahun menyuruh agenku mencari tahu, Saat tur ke kota kau tiga puluh tahun silam, aku berharap ayah kau menyapa, ternyata tidak. Aku bertanya ke panitia pertandingan, tidak ada yang tahu. Untunglah keonakanku yang pemalas ini ikut mencari. Dia berhasil mendapatkan nomor telepon ayah kau beberapa bulan lalu, dan pernah menghubungi ayah kau. Kami merencanakan datang sat libur kompetisi. Lihat, aku datang amat terlambat. Ayah kau sudah pergi."
Mataku tiba-tiba basah oleh air mata. Apakah ini sungguhan? Orang-orang masih bertepuk tangan. Jarjit yang dulu bangga sekali punya bola bertanda tangan itu mengacungkan jempol, tersenyum. Sang Kapten sudah memelukku erat-erat. "Aku turut berdukacita, Dam. Ayah kau adalah segalanya bagi Kapten tua ini. Ayah kau terlalu sederhana untuk mengakuinya.    
 >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapa terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?
Inilah kisah tentang seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Kesederhanan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu di novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk mengatakannya.
Silahkan baca novel ini
hanya di Perpustakaan Padmanaba

0 komentar: