NONTON WAYANG DARI BERBAGAI PAKELIRAN

Pengarang   : Pranoedjoe Poespaningrat
Penerbit        : PT. BP. Kedaulatan Rakyat
Tahun Terbit : 2008
Tempat          : Yogyakarta
Subject          : Wayang - Pakeliran
Kolasi            : 278 halaman - illustrasi 
Sinopsis        : 

Bahwasanya dunia dan manusia itu semula diciptakan dari tiada oleh Tuhan, hal ini dalam dunia pewayangan dilambangkan dengan pendhapa suwung yang kosong, tetapi berisi. Begitu juga setelah kelir dibentangkan dan wayangnya disimping, maka di tengah-tengah kelir pun masih kosong, tetapi di dalam kekosongan itu sudah ada gunungan atau kayon yang berarti hayyu atau hidup. Ini pun lambang kosong, tetapi berisi setelah kayon ditarik ke bawah, maka muncullah wayang pertama yang berwujud parekan disusul wayang raja, kemudian adik atau ari-arinya. Ini semua secara kosmis merupakan suatu lambang kelahiran atau mulainya ada lakon.

Di kota-kota besar, pagelaran wayang lebih sering ditemukan sebagai suatu bentuk pagelaran yang bersifat berdiri sendiri dan tidak ada pagelaran lain yang mengawalinya. Bahkan pagelaran wayang seringkali sama sekali tidak melibatkan masyarakat kecil (misalnya: pedagang kecil). Karena itulah, mereka yang datang sudah bisa dipastikan adalah penonton fanatik pagelaran wayang. Karena mereka biasanya merupakan anggauta masyarakat perkotaan yang relatif sibuk dengan kegiatan sehari-hari, maka selepas makan malam mereka barulah mereka bisa ‘keluar’ dari rumah untuk menonton pagelaran wayang. Salah satu yang juga menjadi kekhasan penonton wilayah perkotaan, adalah mereka biasanya merupakan anggauta komunitas atau kelompok tertentu. Karenanya, mereka akan cenderung saling melakukan perjanjian lebih dahulu dengan teman-teman sekomunitasnya, jadi nonton wayang atau tidak. Seringkali faktor ‘siapa yang menjadi dhalang-nya’ juga memegang peran penting. Jadi rupanya, daya tarik dhalang menjadi sangat penting, dibandingkan dengan lakon atau cerita yang ditampilkan.

Pagelaran wayang yang dilakukan di wilayah pedalaman, biasanya bukan merupakan suatu pagelaran yang secara khusus hanya menampilkan wayang kulit purwa semata, melainkan juga dipenuhi dengan sejumlah pagelaran lainnya. Misalnya, ada pagelaran karawitan Soran oleh para pemuda/pemudi, pagelaran panembrama (koor) oleh para ibu-ibu, pagelaran karawitan oleh bapak-bapak atau remaja yang sedang belajar menabuh gamelan, dan/atau pagelaran ‘beksan’ (tari). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelum pagelaran wayang dimulai, lazim disebut ‘gebyakan’, yang secara mudah artinya ‘menampilkan secara meriah’ . Misalnya, menampilkan suatu hasil latihan kesenian daerah yang dilakukan di sekitar tempat pagelaran. Bahkan kegiatan menghias panggung dengan berbagai ‘uba-rampe’ (kelengkapan) dan ‘upa-rengga’ (hiasan), sudah merupakan bagian dari kegiatan pagelaran yang menyenangkan dan bisa dinikmati masyarakat sekitarnya.

Bintang tamu atau pelawak yang disertakan pada suatu pagelaran wayang, semula memang dimaksudkan sebagai daya tarik (untuk mengumpulkan/menarik penonton). Tetapi seperti dinyatakan oleh banyak penonton, karena mereka ini bukan penyaji pagelaran, melainkan merupakan orang yang ‘dicangkokkan’ pada pagelaran, maka mereka itu lalu bisa menjadi benalu yang menggerogoti pagelaran wayang dan yang pasti juga merusak reputasi dhalang. Karena, dhalang lalu dipandang sebagai orang yang tidak mempu mengumpulkan dan mempertahankan penonton pagelaran.

0 komentar: