Dwilogi Novel : Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas

Penulis : Andrea Hirata
Editor   : Imam Risdiyanto
Layout  : Titis dan Pritameani
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun    : 2010 
ISBN     : 978602881095
Kolasi   : xiv, 253 hlm, 20.5 cm

Ringkasan :
Novel dwilogi ini merupakan lanjutan dari novel tetralogi laskar pelangi yang sebelumnya ditulis oleh Andrea Hirata. Dalam buku ini ingin menlanjutkan benang cerita yang sudah sebelumnya diselesaikan oleh penulis dalam novel keempatnya berjudul Maryamah Karpov. Kisah percintaan antara Ikal pemuda yang berhasil melanjutkan pendidikan doktor di Edensor negeri Belanda dan A Ling anak saudagar cina yang kaya raya. Mereka dipertemukan kembali di Belitong dengan suasana yang berbeda. Keduanya ingin meneguhkan kembali janji cinta diantara mereka.


Acara perkawinan Zinar sore itu berlangsung amat menarik karena bergaya tradisional Tionghoa. Zinar yang menyenangkan telah bersahabat dengan begitu banyak orang. Perkawinan itu seperti pertemuan beragam suku dalam masyarakat kami. Banyak sekali orang dari suku bersarung, orang Melayu, orang Tionghoa sendiri, dan orang Sawang hadir di sana. Ayahku pun daang denan baju terbaiknya sepanjang masa: safari empat saku.
Keluarga mempelai lelaki hadir dari Tanjung Pinang. Di antara barisan lelaki dan perempuan Tionghoa itu tampak beberapa orang tua berwajah Pakistan. Kutaksir, dari sanalah sang mempelai pria itu mendapat nama Zinar, sepasang bahu yang teguh, dan sepasang mata yang teduh.


Di tengah keramaian kulihat A Ling berdiri sendiri di ujung beranda. Aku menghampirinya. Di dekatnya, hatiku tak karuan. Aku gugup, persis seperti pertama kali aku berjumpa dengannya belasan tahun lalu. Kuberikan padanya puisiku. Kukatakan, dulu waku masih SD aku pernah menulis puisi untuknya, tapi terlalu malu untuk memberikan padanya. Ia membuka lipatan kertas puisi itu dan terpana dan menunduk. Lalu, ia menatapku. Kemudian, ia membaca lagi puisi itu pelan - pelan. Ia membacanya sambil tersenyum, namun matanya berkaca - kaca.

 Ada Komidi Putar di Padang Bulan.

Kutunggu Ayahku
Akan kurayu agar mengajakku nanti petang
Nanti petang, Kawan, ada komidi putar 
        di Padang Bulan
Ada kereta kuda
Ada selendang berenda-renda
Ada boneka dari India 

Komidi berjalan pelan
Lampu-lampunya dinyalakan
Komidi melingkar tenang
Hatiku terang
Tenang benderang menandingi bulan

Ayah, pulanglah saja sendirian
Tinggalkan aku
Tinggalkan aku di Padang Bulan
Biarkan aku kasmaran

Perkawinan Zinar bak ritual yang penuh perlambang itu, usai. Pembaca acara mempersilahkan Bang Zaitun naik keatas pentas yang rendah. Disampaikan oleh pembawa acara bahwa, diam-diam, sejak berminggu - minggu lalu, Zinar telah memesan pada Bang Zaitun untuk membawakan sebuah lagu dengan akordion.  Lagu itu adalah lagu kesayangan Zinar sejak ia masih remaja di Tanjung Pinang dulu. Lagu itu akan dipersembahkannya untuk isterinya.
Bang Zaitun naik ke atas pentas. Seluruh hadirin berdiri rapat mengelilingi pentas kecil itu. Lalu, Bang Zaitun memainkan akordionnya dan mengalirlah irama yang sendu. Lagu itu lagu lama "Morning Has Broken". Zinar terpaku. ia berdiri di situ, tampak betul seperti seorang berjiwa seni yang halus perasaannya. Ia menggenggam tangan isterinya. Hadirin yang mengelilingi pentas  terpesona mendengar alunan akordion Bang Zaitun. Indah sekali. Bang Zaitun membuat sore itu takkan muda dilupakan.
Di sudut sana kulihat ayahku. Ia memperhatikanku dan A Ling, dan ia tersenyum. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada hari-hari mendatang. Masa depan milik Tuhan. Tapi, saat itu aku tahu bahwa pertikaian antara aku dan Ayah telah berakhir dengan damai.
Usai lagu "Morning Has Broken", hadirin berhamburan ke halaman, menari dan berdendang meningkahi gendang dalam lagu Melayu nan rancak: "Selayang Pandang". Orang Melayu, Sawang, Tionghoa, dan suku bersarung yang hadir di sana larut menjadi satu. Sejenak lupa akan timah yang tak laku dan masa depan yang tak tentu.
Sejurus kemudian, di antara ingar bingar itu, kudengar suara gemeretak di atas atap seng. Kulihat awan hitam yang dari pagi tadi tak mau beranjak dari barat, berarak-arak menuju timur. Kini mereka merajai angkasa di atas kampungku. Titik hujan turun berinai-rinai. Hatiku girang tak kepalang. Aku melompat dan bergabung dengan orang-orang yang berdendang di pekarangan meski hujan mulai turun.
Seperti impian diam-diamku selalu, hujan pertama jatuh tepat pada 23 Oktober sore, pada hari kudapatkan lagi A Ling dan ayahku. Hujan membasahiku. Kuerentangkan kedua tangan lebar-lebar. Aku menengadah dan kepada langit kukatakan: Ini aku! Putra ayahku! Berikan padaku sesuatu yang besar untuk kutaklukkan! Beri aku mimpi-mimpi yang tak mungkin aku belum menyerah! Tak kan pernah menyerah. Takkan pernah!  



0 komentar: