Pengarang      : KH. Muhammad Sholikhin
Editor               : Hijrah Saputra
Penerbit           : Erlangga
Tahun                : 2011
Di                      : Jakarta
Kolasi               : xiv, 337 p. ; 19 cm
Ringkasan isi  :

Syekh Siti Jenar adalah seorang tokoh sufi yang namanya sangat akrab di kalangan masyarakat Islam Indonesia terutama masyarakat Islam Jawa. Ia hidup antara tahun 1348-1439 H/1426-1517 M. Syekh Siti Jenar memiliki kurang lebih 16 nama atau sebutan. Beberapa nama yang paling terkenal antara lain : "San Ali" (nama kecil pemberian orangtua angkatnya), "Syekh Abdul Jalil" (nama yang diperolehnya setelah menjadi ulama penyebar agama Islam di Malaka), "Syekh Lemah Abang" (gelar yang diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yang dipelopori Syekh Siti Jenar dalam melawan Hegemoni penguasa pada saat itu, nama ini populer di kota Cirebon), dan "Syekh Siti Jenar" (nama filosofis yang menggambarkan ajarannya tentang "Sangkan-Paran" yakni bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah, dan selebihnya adalah Zat Allah SWT).

Ajaran Syekh Siti Jenar berfokus pada mazhab Tauhid al wujud (kemanunggalan Allah, Nur Muhammad, danIngsun Sejati; dalam Ingsun Sejati terdapat ruh al - idhafi, Ruh al -Haqq, dan al-Haqq). Sedangkan melalui ilmu sangkan paran, Syekh Siri Jenar mengajarkan seseorang untuk mampu mengetahui asal-usul jati dirinya, ke mana ia akan kembali, kapan, dan bagaimana prosesnya. Ilmu tersebut diaplikasikan dalam perwujudan "pemilihan jalan kematian" untuk menuju "jalan hidup yang sejati"; al - insan al-kamil dalam maqamat "Manunggaling Kawula Gusti".
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1426 M di lingkungan pakuwuan Caruban (Cirebon sekarang). Orangtuanya adalah seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh Isa 'Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid Abdul Malik al Qazam yang merupakan salah satu keturunan ulama terkenal Syekh Isa al-Muhajir al-Bashari al-'Alawi, yang semua keturunannya menyebar ke berbagai pelosok dunia dalam menyiarkan agama Islam. Jika dirunut ke atas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW.
Masa kecil Syekh Siti Jenar berada dalam asuhan Ki Danusela, serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang, yang sedang nyantri di kota Cirebon, di bawah asuhan Syekh Datuk Kahfi.
Setelah diasuh oleh Ki Danusela sampai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh padepokan Giri Amparan Jati. Di padepokan Giri Amparan Jati ini Syekh Siti Jenar diajarkan tentang kerohanian Islam dan berbagai pelajaran keagamaan, antara lain: Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ilmu Tafsir, Musthalah Hadits, Ushul Fiqh,  dan manthiq. Di padepokan Giri Amparan Jati ini ia menjadi santri generasi kedua. Sedangkan ketiganya adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati. Syarif Hidayatullah baru datang di Cirebon bersamaan dengan pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah pada sekitar tahun 1463 M, dengan status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan, pada usia sekitar 17 tahunan.  
Syekh Datuk Kahfi seorang ulama besar dari Bagdad yang kemudian tinggal di Malaka. ia dikenal jugan dengan nama Syekh Idhafi Mahdi atau Syekh Zatul Kahfi. Ia adalah ulama yang pertama kali secara khusus menyebarkan Islam di Cirebon dengan membuka padepokan. Setelah itu baru diikuti oleh Syekh Siti Jenar dan Sunan Gunung Jati. Syekh Datuk Kahfi datang ke Cirebon bersama 22 orang muridnya pada saat keadaan politik sedang kacau. Generasi pertama di perguruan ini ialah dua orang putra dari Prabu Siliwangi yaitu Rara Santang dan Pangeran Walangsungsang, seorang Tumenggung Cirebon yang bergelar Sri Manggana Cakrabuana kelak akan digantikan oleh Sunan Gunung Jati yang menjadi raja muda Cirebon dengan gelar Maulana Jati, yang mengubah Cirebon menjadi kesultanan atas intruksi Demak.    
San Ali merupakan santri generasi kedua di padepokan Giri Amparan Jati. Ia menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ilmu Tafsir, Musthalah Hadits, Ushul Fiqh, dan Manthiq. Selain belajar aktif di pondok, dengan didampingi Ki Samadullah, San Ali juga suka mengembara mengunjungi warga pedesaan, memperhatikan kehidupan, dan senang mempraktikkan perilaku spiritual. Sejak dini, memang sudah tampak kecenderungan dan bakat rohaniah yang tinggi padanya.
Kecenderungan dan bakat San Ali dalam mengolah batin tersebut semakin mantap saat ia berusia 19 tahun. Hampir semua pelajaran dari Syekh Datuk kahfi diserapnya dengan cepat dan semakin memancing kahausannya akan ilmu. Semenjak itu ia memiliki kesenangan baru, yakni duduk merenung di bawah pohon Kelapa, ditepi sungai sungai dekat pondoknya. Dari perenungannya terhadap perjalanan air, misalnya, ia menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri mengenai makna dibalik kalimat 'inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.' Bahwa seluruh makhluk berhulu dari Allah SWT, dan akan bermuara hanya kepada Nya (Allah sangkan paraning dumadi). Dengan titik poin kalimat inilah, San Ali mencoba membangkitkan kesadaran tentang sang "Aku" dalam dirinya sebagai alat untuk kembali kepada Nya.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun menimba ilmu di padepokan Amparan Jati, San Ali bertekad untuk keluar dari pondok, dan berniat mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijakannya, ia bertekad untuk mencari "sangkan-paran" dirinya.

Cerita lengkapnya dapat di baca 
di perpustakaan SMA Negeri 3 Yogyakarta
 
     

0 komentar: