Perempuan Laweyan

Pengarang     : Tugas Tri Wahyono
                           Suwarno
Penerbit         : Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta
Tahun              : 2014
Genre             : Karya Tulis Ilmiah 
Kolasi             : xii,116 p. ; 24 cm
Sinopsis 
Intro                :
Batik, merupakan salah satu warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi yang telah mendapatkan pengakuan dunia dan telah ditetapkan oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009. Industri perbatikan di Indonesia mengalami peningkatan yang pesat. Industri perbatikan tersebar hampir di banyak pulau di Indonesia di antaranya Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Madura, dan sebagian Pulau Bali. Daerah penghasil batik di Pulau Jawa antara lain Surakarta, Yogyakarta, Lasem Banyumas, Probolinggo, dan lain-lain.
Khususnya di Kota Surakarta terdapat dua kawasan industri kerajinan batik, yaitu kawasan Kauman dan kawasan Laweyan. Kawasan Kauman terletak di pusat Kota Surakarta, sedangkan kawasan Laweyan terletak di bagian barat daya Kota Surakarta. pada saat ini, khususnya kawasan Laweyan lebih dikenal oleh masyarakat sebagai Kampung Batik Laweyan.    
Laweyan merupakan suatu sentra industri batik yang unik, spesifik, dan bersejarah. Berdasarkan sejarah yang ditulis oleh Forum Pengembangan Koampoeng Batik LAweyan (FPKBL) (2004), Desa LAweyan sudah ada sebelum munculnya Kerajaan Pajang. Kawasan Laweyan semakijn dikenal ketika Kyai Ageng Henis bermukim di Desa Laweyan pada tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara Pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati) dan membelakangi jalan yang menghubungkan antara Mentaok dengan Desa Sala (sekarang jalan Dr. Rajiman).
Kyai Ageng Henis adalah putra Kyai Ageng Sela yang merupakan keturunan Raja Brawijaya V. Kyai Ageng Henis atau Kyai Ageng Laweyan mendapat julukan manggala pinituwaning nagara semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang. Setelah Kyai Ageng Henis meninggal dunia dan dimakamkan di pasarena Laweyan, maka rumah Kyai Ageng Henis ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutawijaya. Sutawijaya kemudian lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar (Pasar Laweyan). (FPKBL, 2004) 
Pada tahun 1930 an Indonesia, terutama di Kota Surakarta pernah menjadi pusat batik terbesar. Jumlah industri batik pada waktu itu mencapai 230 buah dan sebagian besar lokasinya berada di Laweyan. Produksi batik Laweyan pada waktu itu setiap tahunnya dapat mencapai sekitar 60.400 potong batik. masyarakat laweyan yang terdiri dari beberapa kelompok seperti : kelompok saudagar, khususnya saudagar batik Laweyan inilah pada waktu itu mempunyai peranan sangat dominan. Mereka memiliki usaha batik dengan jaringan pemasaran yang sangat luas. kaum saudagar menjadi kelas menengah, bukan kelas atas seperti bangsawan. Akan tetapi mereka pada umumnya memiliki kekayaan yang tidak kalah dari para bangsawan (Monografi Laweyan, 2012)   
Golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik. Juragan batik tersebut biasa disebut dengan istilah mbok mase atau nyah nganten, sedang untuk suami disebut mas nganten sebagai pelengkap utuhnya keluarga. Mbok mase atau nyah nganten merupakan sebutan gelar bagi sekelompok juragan pemilik perusahaan batik Laweyan yang muncul pada awal abad 20 an. Mbok mase merupakan salah satu pelaku utama yang berperan penting dalam perkembangan sejarah batik Laweyan. Mereka merupakan perempuan - perempuan yang terampil di dalam mengelola usaha, sejak dari proses membatik, memasarkan, mengelola, keuangan hingga mengembangkan usaha.

Buku ini dapat dibaca hanya di PADMANABA library 
SMA Negeri 3 Yogyakarta     
 

0 komentar: