Sangkala Lima

Pengarang   : Langlang Pandhawa
Penerbit        : Galamadani
Tahun             : 2012
Tempat          : Bandung
Kolasi            : 211 halaman
Kode Buku    : 899.221 TOH k
Abstrak          : 
Pagi yang sama dengan hari yang berbeda. Tepat di hari ke 7300 setelah aku dan Mukray terjebak bentrok di Simpang Balajara, kuterima kabar ini dari ruang kerjaku di lembaga kantor berita nasional di Jakarta. Telah terjadi bentrok warga dengan anggota Jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, berita dengan cepat mengabarkan kejadian itu kepada dunia. Hatiku gerimis. Sangat miris.
Aku penasaran, tak kubiarkan huruf demi huruf menguap begitu saja di layar tabletku. Mataku serius memantau perkembangan aksi via internet. Kuikuti kronologisnya. Minggu dini hari tanggal 6 februari pukul 03.00 WIB, 15 anggota Jamaah Ahmadiyah dari Jakarta tiba di satu rumah di Babakan Cipeundeuy, Cikeusik, Pandeglang. Berkendara sepeda motor, mereka mendatangi rumah Agus Suparman, pemimpin Jamaah Ahmadiyah Cikeusik. Aksi mereka terendus oleh polisi setempat, lalu Kapolres Pandeglang memerintahkan 30 personel dan satuan intelkam serta reskrim untuk mendatangi Mapolsek Cikeusik. Mereka datang untuk mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan terjadi setelah kedatangan Jamaah Ahmadiyah dari Jakarta.

Pukul 08.00 WIB, Kapolsek Cikeusik dan Kepala Desa Umbulan mendatangi rumah Suparman dan membujuk sekitar 20 orang anggota Jamaah Ahmadiyah untuk segera meninggalkan rumah Suparman. Namun, imbauan itu tidak dihiraukan orang-orang di rumah tersebut. Bahkan seorang dari mereka berkata kepada polisi dan kepala desa, jika aparat tidak sanggup menghadapi massa, mereka yang menghadapi.
Sekitar pukul 10.45 WIB, kurang lebih 1.500 orang dari sekitar Desa Umbulan Cikeusik, mendatangi rumah Suparman. Mereka membawa berbagai peralatan kayu, batu dan senjata tajam sambil teru smemekikkan takbir penyemangat. Suasana menjadi tidak terkendali dan kian memanas. Dikomandoi lelaki tinggi, kurus, berambut panjang, dan mengenakan peci hitam, warga pun mulai melempari rumah Suparman dengan batu. Dan dibalas dengan batu pula oleh sekumpulan Jamaah Ahmadiyah dari dalam rumah. Bentrokan sengit tidak dapat dihindarkan.
........................................   

Hanya satu jalan keluarnya masuk ke pesantren. Pun tak ada piihan lain bagi Larang. Demi sang Ayah yang tak sanggup membayar biaya masuk SMA. Demi sang Ibu yang menginginkannya untuk menjaga shalat lima waktu. Dan, demi dirinya sendiri agar bisa melupakan cinta pertamanya.
Hari-hari di pesantren memberikan warna baru di kehidupan Larang. Bukannya belajar ilmu agama, Larang malah sibuk dengan ritual-ritual aneh yang dijalaninya bersama kedua sahabatnya di pesantren. Hingga tiba-tiba sebentuk penyesalan datang padanya. Jika mampu, Larang pasti sudah memutar balik waktu. Namun, jika tidak?
Silahkan membaca buku ini di 
Perpustakaan SMA Negeri 3 Yogyakarta

0 komentar: